1. Perbedaan Gaya Hidup dan Ekspektasi
Tidak semua orang asing datang ke Jepang dengan tujuan yang sama.
Ada yang datang untuk bekerja profesional, ada yang kuliah, ada yang mencari kehidupan baru, ada yang “lari” dari tekanan negara asal, dan ada pula yang ingin merasakan kehidupan slow living ala Jepang.
Perbedaan tujuan dan lifestyle ini sering menimbulkan jarak.
Seseorang yang hidup disiplin dan bekerja di perusahaan besar mungkin tidak selalu cocok dengan ekspat yang hidup lebih santai atau berpindah-pindah pekerjaan.
Hasilnya?
Pertemanan jadi selektif, bahkan kadang muncul rasa gengsi atau tidak nyambung.
2. Persaingan di Dunia Kerja
Pasar kerja untuk orang asing di Jepang cukup kompetitif.
Perusahaan biasanya sangat selektif, terutama untuk posisi yang butuh bahasa Jepang tingkat tinggi.
Kondisi ini bisa memunculkan:
-
rasa tersaingi
-
perasaan tidak aman (insecure)
-
atau perbandingan prestasi antar ekspat
Di beberapa industri seperti IT, hospitality, dan entertainment, persaingan ini bahkan terlihat lebih menonjol dan memicu konflik halus antar orang asing.
3. Stereotipe Antar Negara
Ironisnya, orang asing justru sering membawa stereotipe mengenai negara lain.
Misalnya:
-
ekspat dari negara A dianggap rajin
-
ekspat dari negara B dianggap kurang disiplin
-
ekspat dari negara C dianggap lebih disukai perusahaan Jepang
Stereotipe seperti ini sebenarnya jarang benar, tetapi cukup kuat untuk membuat orang asing saling menjaga jarak atau menciptakan grup “kami vs mereka”.
4. Tekanan Hidup di Jepang
Hidup di Jepang memang aman, nyaman, dan teratur—tetapi juga punya tantangan berat:
-
Bahasa Jepang yang sulit
-
Norma sosial yang ketat
-
Tekanan kerja tinggi
-
Rasa kesepian
-
Rutinitas yang padat
-
Keterbatasan dalam berekspresi
Tekanan ini bisa membuat sebagian ekspat menjadi lebih sensitif, mudah tersinggung, atau mudah marah.
Konflik kecil pun bisa terlihat besar karena semua orang sedang hidup dalam kondisi penuh tekanan.
5. Komunitas Ekspat yang Terpecah-Pecah
Berbeda dengan negara lain, komunitas ekspat di Jepang tidak selalu menyatu.
Mereka cenderung membentuk kelompok berdasarkan:
-
negara asal
-
bahasa
-
pekerjaan
-
minat
-
atau kota tempat tinggal
Kelompok ini membuat orang asing merasa nyaman, tetapi juga menutup peluang untuk berinteraksi dengan ekspat dari negara lain.
Terbatasnya interaksi sering membuat prasangka tumbuh tanpa pernah saling mengenal lebih dalam.
6. “Aku Lebih Paham Jepang dari Kamu” — Superior Adaptation
Ada fenomena kecil tetapi nyata di antara ekspat Jepang:
Beberapa merasa dirinya “lebih Jepang” daripada ekspat lainnya.
Contohnya:
-
merasa lebih fasih bahasa Jepang
-
lebih paham etika kerja
-
lebih menyesuaikan diri dengan budaya lokal
-
atau merasa hidup lebih “Jepang” daripada orang asing lain
Sikap superior seperti ini bisa memicu rasa tidak nyaman dan membuat hubungan antar ekspat renggang.
Kesimpulan: Bukan Benci, Tapi Dinamika Sosial
Mayoritas orang asing di Jepang sebenarnya saling mendukung dan hidup rukun.
Konflik yang muncul biasanya bukan karena mereka benar-benar saling membenci, tetapi karena kombinasi:
-
perbedaan latar belakang
-
tekanan hidup
-
stereotipe
-
dan persaingan
Jepang bisa menjadi tempat yang luar biasa bagi siapa pun, tetapi kehidupan ekspat memang penuh dinamika yang kadang tidak terlihat dari luar.
Pada akhirnya, memahami perbedaan dan lebih terbuka terhadap sesama ekspat dapat membuat pengalaman hidup di Jepang jauh lebih damai dan menyenangkan
PDJ Indonesia
https://www.pdj-indonesia.com
住所:Sudirman 7.8, Level 16 Unit 1 & 2, Jl. Jenderal Sudirman No.Kav 7-8, RT.10/RW.11,
Karet Tengsin, Kecamatan Tanah Abang, Kota Jakarta Pusat,
Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10220, Indonesia
Phone Number: +62-852-1333-6739





